Minggu, 04 April 2021

JANGAN SISAKAN NASI DALAM PIRING seri Ubud Sketsa KembangManggis

 

doc.pribadi


IDENTITAS BUKU

Judul : JANGAN SISAKAN NASI DALAM PIRING seri Ubud Sketsa KembangManggis 

Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama 

Tahun Terbit : 2018 

ISBN DIGITAL 9786020618722 

Tebal : 224 hlm ; 21 cm 

Baca melalui aplikasi Gramedia Digital 


CUPLIKAN CERITA 

Terdapat 23 kisah yang memiliki latar tempat di Ubud. Sebagai pembaca dibuat jatuh cinta oleh tulisan tentang Ubud. Gaya bahasanya ringan dan ringkas dengan kalimat yang bisa dipahami.

 

Buku ini berkisah tentang seorang ibu  asal Bogor yang memiliki dua anak perempuan: Anggit dan Nala. Mereka singgah ke Ubud dan mendirikan studio karena daripada setiap ke sana sewa penginapan, dia lebih baik mendirikan pemondokan.

 

Suasana khas wilayah Ubud disampaikan dengan jelas oleh penulis. Kepolosan para tokoh yang hidup di daerah perdesaan.Begitulah Ubud yang diceritakan penulis dengan segala keunikannya. Banyak refleksi terhadap nilai-nilai kehidupan yang sederhana sekaligus bermakna.

 

Tak ketinggalan, ragam makanan disinggung pula pada beberapa bagian cerita. Membaca bagian yang dibumbui kuliner mampu membuat saya langsung membayangkan nyicip makanannya (Tapi ada yang hanya dibayangkan karena tak boleh dimakan untuk kepercayaanku).

 

“Jangan Sisakan Nasi dalam Piring” yang diambil menjadi judul utama buku. Bagian tersebut menjelaskan kisah tokoh utama yang mengamati proses penanaman padi hingga panen. Ada sebuah asumsi umum yang beredar di masyarakat: bahwa panen adalah suatu kegembiraan sekaligus ajang pesta petani.

 

Apakah benar seperti itu? Dalam kisah ini digambarkan bahwa ketika panen tiba para petani begitu bekerja keras dari pagi hingga petang. Masa panen adalah waktu para petani bekerja keras. Lebih keras pada zaman dahulu dan tentu tetap kerja keras pula di masa sekarang (meski intensitasnya berkurang). Terjadi perbandingan antara panen masa lalu dengan panen masa kini.

 

Sebulir padi menjadi amat berharga. Prosesnya menjadi nasi pun tak mudah. Harus ditapi, dibersihkan, dan ditanak sedemikian rupa hingga setelah melalui proses panjang nasi pun terhidang. Atas segala proses yang tak mudah itu, makanya orangtua memberi nasihat: jangan sisakan nasi dalam piring! Berbeda dengan zaman sekarang. Petani telah dipermudah dengan segala alat canggih. Nasi hangat pun terhidang. Lebih praktis dan mudah.

 

Penulis memberi pesan bahwa kita harus menghargai setiap tetes keringat petani, melainkan pula menghargai proses dan kebaikan alam. Jika ditarik benang merah, maka buku ini terbagi atas nilai budaya, kuliner, kemasyarakatan, nilai kehidupan, fenomena alam, pencaharian, dan refleksi tokoh utama tersendiri dalam menilai kisah-kisahnya.


Ada sketsa-sketsa di setiap bagiannya. Bahasa yang ringan membuat buku ini amat cocok sebagai teman duduk sambil menyesap kopi atau mencicip cemilan sore.


Sudah pernah di publikasikan di Instagram pribadi dengan segala perubahan sesuai kebutuhan https://www.instagram.com/p/CNFf9MWFns3/?utm_source=ig_web_copy_link

Tidak ada komentar:

Posting Komentar