IDENTITAS BUKU
Judul : JANGAN SISAKAN NASI DALAM PIRING seri Ubud Sketsa KembangManggis
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2018
ISBN DIGITAL 9786020618722
Tebal : 224 hlm ; 21 cm
Baca melalui aplikasi Gramedia Digital
CUPLIKAN CERITA
Terdapat 23 kisah yang memiliki latar tempat di Ubud. Sebagai
pembaca dibuat jatuh cinta oleh tulisan tentang Ubud. Gaya bahasanya ringan dan
ringkas dengan kalimat yang bisa dipahami.
Buku ini berkisah tentang seorang ibu asal Bogor yang memiliki dua anak perempuan:
Anggit dan Nala. Mereka singgah ke Ubud dan mendirikan studio karena daripada
setiap ke sana sewa penginapan, dia lebih baik mendirikan pemondokan.
Suasana khas wilayah Ubud disampaikan dengan jelas oleh
penulis. Kepolosan para tokoh yang hidup di daerah perdesaan.Begitulah Ubud
yang diceritakan penulis dengan segala keunikannya. Banyak refleksi terhadap
nilai-nilai kehidupan yang sederhana sekaligus bermakna.
Tak ketinggalan, ragam makanan disinggung pula pada
beberapa bagian cerita. Membaca bagian yang dibumbui kuliner mampu membuat saya
langsung membayangkan nyicip makanannya (Tapi ada yang hanya dibayangkan karena
tak boleh dimakan untuk kepercayaanku).
“Jangan Sisakan Nasi dalam Piring” yang diambil menjadi
judul utama buku. Bagian tersebut menjelaskan kisah tokoh utama yang mengamati
proses penanaman padi hingga panen. Ada sebuah asumsi umum yang beredar di
masyarakat: bahwa panen adalah suatu kegembiraan sekaligus ajang pesta petani.
Apakah benar seperti itu? Dalam kisah ini digambarkan
bahwa ketika panen tiba para petani begitu bekerja keras dari pagi hingga
petang. Masa panen adalah waktu para petani bekerja keras. Lebih keras pada
zaman dahulu dan tentu tetap kerja keras pula di masa sekarang (meski
intensitasnya berkurang). Terjadi perbandingan antara panen masa lalu dengan
panen masa kini.
Sebulir padi menjadi amat berharga. Prosesnya menjadi
nasi pun tak mudah. Harus ditapi, dibersihkan, dan ditanak sedemikian rupa
hingga setelah melalui proses panjang nasi pun terhidang. Atas segala proses
yang tak mudah itu, makanya orangtua memberi nasihat: jangan sisakan nasi dalam
piring! Berbeda dengan zaman sekarang. Petani telah dipermudah dengan segala
alat canggih. Nasi hangat pun terhidang. Lebih praktis dan mudah.
Penulis memberi pesan bahwa kita harus menghargai setiap tetes keringat petani, melainkan pula menghargai proses dan kebaikan alam. Jika ditarik benang merah, maka buku ini terbagi atas nilai budaya, kuliner, kemasyarakatan, nilai kehidupan, fenomena alam, pencaharian, dan refleksi tokoh utama tersendiri dalam menilai kisah-kisahnya.
Ada sketsa-sketsa di setiap
bagiannya. Bahasa yang ringan membuat buku ini amat cocok sebagai teman duduk
sambil menyesap kopi atau mencicip cemilan sore.
Sudah pernah di publikasikan di Instagram pribadi dengan segala perubahan sesuai kebutuhan https://www.instagram.com/p/CNFf9MWFns3/?utm_source=ig_web_copy_link
Tidak ada komentar:
Posting Komentar