Minggu, 25 Oktober 2020

JEJAK NASIONALISME SUMEDANG

doc. pribadi


Sebagai wanita yang akhirnya menikahi lelaki asli Sumedang, memang ada baiknya untuk mengetahui beberapa fakta unik tentang Sumedang, tidak hanya melalui tradisi lisan yang secara tidak langsung suka diceritakan. Sehingga perlu didukung dengan pengetahuan berdasarkan data dokumen tertulis yang bisa dipertanggungjawabkan secara kebenaran. Dan sebagai bentuk rasa kangen karena selama pandemik, masih banyak berpikir untuk bepergian sebelum situasi membaik (walaupun ah ya sudahlah). Biar berasa sedang di Sumedang padahal lagi #dirumahaja , maka perlulah didukung dengan foto rumah Sumedang saja biar berasa ada disana.

Penjelasan foto sampul pada buku ini adalah Patung Kornel (kanan) dan Daendels di Jalan Raya Bandung – Cirebon atau lebih dikenal Cadas Pangeran di Desa Cijeruk , Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Patung tersebut adalah simbol perlawanan Kanjeng Pangeran Koesoemahdinata IX (Pangeran Kornel), Bupati Sumedang 1791-1828 terhadap Herman Wilem Daendles. Pangeran Kornel bersalaman dengan tangan kiri. 


Walaupun kisah Cadas Pangeran sebagai peristiwa sejarah masih dipertanyakan oleh sejumlah pihak. Kisah ini dianggap mitos yang berfungsi terbatas sebagai identitas lokal yang tumbuh dan beredar di masyarakat tertentu. 


Membaca buku ini aku menemukan beberapa fakta menarik tentang Sumedang:

1. Bupati Pangeran Kornel menjadi symbol perlawanan ketika menyambut Daendels, penguasa kolonial, sambil  menghunus keris

2. Cut Nyak Dien pernah diasingkan ke Sumedang. Di Sumedang, Cut Nyak Dien yang sudah kehilangan vitalitas memang hanya mengajar mengaji ke masyarakat sekitar.Walau kehadirannya tak menjadikan permasalahan sosial perempuan dapat terselesaikan.

3. Kata Sumedang berasal dari kata “Insun Madangan” yang berubah pengucapannya menjadi “Sun Madang”. Adapun secara etimologi “Insun Medal” berasal dari kata “Su” dan “Medang” (“su” artinya bagus ; “medang” adalah sejenis kayu jati, yaitu huru, yang banyak tumbuh di wilayah Sumedang dulu)

4. Kini Wilayah Sumedang berkembang menjadi 26 Kecamatan dan 269 desa.

5. Orang Sumedang lebih sabar, tetapi perlu pemimpin. Kalau tidak ada pemimpin, tidak aka nada jalan atau perubahan. Karena pada dasarnya orang Sumedang punya kultur manut kepada pemimpinnya.

6. Terdapat sisa pertahanan Belanda selama Perang Dunia I berupa benteng dan instalasi militer di Gunung Kerinci

7. Bila ingin kenal lebih tentang kebudayaan masyarakat Sumedang yang terdapat di Museum Prabu Geusan Ulun. (Setelah pandemik berlalu ya manteman)

Masih banyak yang perlu digali dan jadi motivasi buat diriku untuk lebih mencintai negara kita tercinta dengan segala kebudayaan yang khas setiap daerahnya.


Edit by photogrid


Judul Buku : JEJAK NASIONALISME

SUMEDANG : PERJUANGAN MELAWAN KOLONIAL

Tim Penyusun : Litbang Kompas

2019

vi + 85 (91 hlm), 16 x 24 cm

ISBN 978-602-412-786-2

Baca melalui aplikasi Gramedia Digital


Minggu, 11 Oktober 2020

MELALUI SEPTEMBER DENGAN SANTAI

Jangan kesal terlebih dahulu ketika membaca judulnya, karena ini memang ingin menceritakan bulan kemarin dengan santai. Jadi bukan sekedar September ceria saja tapi dengan santai, salah satunya setelah diadposi untuk gabung dalam tim patungan Gramedia Digital, semakin berwarna membaca bukunya. Tak perlu beli buku fisik bila ternyata secara ekonomi masih lebih penting bisa makan 🤣. Paling tidak baca buku digital dengan cara legal dulu lah, sebagai bentuk menghargai penulisnya. Hal ini berimbas kepada jumlah buku yang dibaca selama bulan September. Masih sama dengan bulan Agustus sih, dengan jumlah 10 buku tapi tidak menurunlah nanti jadi bukan September santai lagi. 

Photo edit by Canva


Itulah daftar bacaan buku selama September yang dibaca, bacaan yang santai lah ya karena beres dibaca dan di review di instagram tercintah, boleh di cek ko https://www.instagram.com/simiati_nw/ (walau belum semua di share di goodread karena lupa sama pasword ah elahhh tapi ya sudahlah santai saja nanti bikin baru sajaaaaa). Definisi santai yang didapat selain bisa baca buku dengan santai ya tidak terlihat sibuk sama orang kebanyakan. Lebih baik terlihat santai bukan di mata orang lain daripada terlihat sibuk, gw mah gitu orangnya 🤣🤣🤣🤣🤣. Terlihat santai dengan situasi orang-orang yang sepertinya punya dunia sendiri padahal membuat tak nyaman sekitarnya. Kalau yang memiliki dunia sendirinya saja bisa santai kenapa kita tidak, ya paling bincang-bincang santai di belakangnya saja (ghibah itu namanya rosalinda).


Ga paham ini tulisan tentang apa, hanya berusaha menutup tahun dengan rajin setor tulisan gitu dan mudah-mudahan komitmen walau tak nyambung juga. Kalau ga komitmen ya sudahlah santai saja, rugi ada pada diri sendiri (loh ini berarti tak santai). 

Minggu, 04 Oktober 2020

REVIEW NOVEL KAU, AKU DAN SEPUCUK ANGPAU MERAH

 

sumber : google


Judul Buku : Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah

Penulis : Tere Liye

Cetakan kedua puluh  : April 2018

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama

521 hlm ; 20 cm

ISBN DIGITAL : 9786020355771

Baca melalui aplikasi Gramdia Digital

 

Disini adakah yang sudah baca karya dari Tere Liye? Atau seliweran lihat-lihat karya beliau?

Bila sudah membaca novel beliau, bisa jadi semua mengetahui beraneka ragam genre yang beliau tulis dan gaya penulisan beliau, novel yang akan saya sampaikan yang bisa disebut salah satu genre romance.Bila diurutkan, ini adalah novel keenam belas dari 42 karya yang sudah diterbitkan (belum dihitung serial anak mamak dan sang penindai yang berganti judul buku). *bila salah hitung mohon dikoreksi bersama ya, mungkin diriku siwerrr. Sebelum terlalu panjang prolognya akan saya sampaikan Blurbnya terlebih dahulu ya.

 

BLURB

Ada tujuh miliar penduduk bumi saat ini. Jika separuh saja dari mereka pernah jatuh cinta, maka setidaknya akan ada satu miliar lebih cerita cinta. Akan ada setidaknya 5 kali dalam setiap detik, 300 kali dalam semenit, 18.000 kali dalam setiap jam, dan nyaris setengah juta sehari-semalam, seseorang entah di belahan dunia mana, berbinar, harap-harap cemas, gemetar, malu-malu menyatakan perasaanya.

 

Apakah Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah ini sama spesialnya dengan miliaran cerita cinta lain? Sama istimewanya dengan kisah cinta kita? Ah, kita tidak memerlukan sinopsis untuk memulai membaca cerita ini. Juga tidak memerlukan komentar dari orang-orang terkenal. Cukup dari teman, kerabat, tetangga sebelah rumah. Nah, setelah tiba di halaman terakhir, sampaikan, sampaikan ke mana-mana seberapa spesial kisah cinta ini. Ceritakan kepada mereka.

 

Kalau baca dari Blurbnya sudah ditebak ya kental sekali dengan kisah cinta, sudah baca novel ini? Sekedar intermezzo, cover dari novel ini sudah ada pergantian cover tapi isi tetap sama. Ini runtutan pergantian cover dari novelnya.

 

Kisah tentang borno, bujang dengan hati lurus sepanjang tepian Kapuas.Anak yang paling dibanggakan, bukan karena bapaknya meninggal karena mendonorkan jantungnya tapi karena mewarisi semua kebaikan itu. Setelah pencarian mencari kerja akhirnya berlabuh pada pekerjaan sebagai pengemudi sepit yang merupakan pekerjaan turun temurun dari kakek, ayah yang sebenernya ayahnya mewasiatkan untuk tidak menjadi pengemudi sepit.


Kebiasaan para penumpang membayar ongkos sepit dengan menyimpan yang di dasar sepit. Sampai akhirnya ia menemukan amplop merah yang ia kira terjatuh milik penumpang. Dari sinilah cerita cinta borno dimulai dengan sang gadis sendu menawan mei. Borno ketemu cewek yang dia sebut "sendu menawan" berwal dari naik sepit nomor antrian 13 hingga ia berani menanyakan namanya. nama cewek tersebut "Mei" ,kisah cinta Borno dan Mei pun dimulai. Awal Mei menaiki sepit Borno ia hanya meninggalkan angpau merah. semenjak itu Mei sering naik sepit sampai Borno ingin mengajari Mei mengemudikan sepit, namun tugas mengajar mei di pontianak telah berakhir sehingga ia kembali ke Surabaya. Borno pun mendapatkan kesempatan pergi ke Surabaya bersama Pak tua untuk pengobatan Pak tua. tak disangka mereka bertemu di rumah sakit. Namun ketika Borno mengantarkan mei pulang ketika di Surabaya, ayah mei menampakan sikap tidak suka terhadap Borno. Borno pun semakin Bimbang sampai di Pontianak. Lalu bagaimana akhir dari kisah cinta mereka dengan dibayangi masa lalu yang menimbulkan perasaaan bersalah seumur hidup?


Cerita dengan latar belakang kota pontianak dan Surabaya seolah kita berada disana karena diceritakan secara detail sudut kotanya. Berbagai macam ras terwakili oleh tokoh-tokoh dalam cerita. Bukan hanya Mei yang keturunan Chinese dan Borno yang asli Pontianak, tetapi nilai-nilai kekerabatannya seolah sengaja dijalin dengan rapi sehingga tak ada istilah tetangga atau saudara jauh semuanya adalah satu rumpun. Satu keluarga. Masing-masing tak merasa sebagai salah satu keturunan tertentu semisal tokoh pak Tua yang menceritakan, “siapa di sini yang berani bilang Koh Acong bukan penduduk asli pontianak?” (hal 195)


Kisah yang dibayangi akan beban masa lalu yang menjadi misteri sehingga novel dengan halaman 500an tak terasa bagaikan membaca novel tipis. Penyajian sampul  pertama dengan lukisan gadis berwajah oriental dan berpayung dengan latar belakang perahu-perahu kayu senja (malam hari?) sangat cukup mendukung isi cerita di dalamnya. Pemilihan warna latar yang sendu, menegaskan bahwa  novel ini tak sekedar bagus untuk dilirik, bergantinya cover mungkin ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan penulis agar menyesuaikan dengan isi karyanya. Suka cover yang mana? Kalau saya pribadi masih suka dengan cover pertamanya.

 

Sumber foto : Google
Photo edit by : PhotoGrid

Dibalik kelebihan pasti ada sesuatu yang bikin mengganjal dari suatu buku, diantaranya: 
1. Tebal halamannya itu buat minder
2. Ini kisah yang Open Ending 🤣🤣🤣🤣 gemes pokoknya
3. Sifatnya masih hiburan tak memberi tantangan pemikiran kehidupan (buat yang suka klimaks banget ya)
4. Dari keseluruhan cerita yang bersifat ringan seolah-olah hanya memberi keasyikan, hiburan, tidak memberi tantangan pemikiran kehidupan.
5. Untuk yang menyukai sastra pasti terkesan pasif.
6. Sosok Pa tua terlalu misterius seolah-olah bapak peri begitulah

"Cinta sejati selalu menemukan jalan, Borno. Ada sama kebetulan, nasib, takdir atau apalah sebutannya. Tapi sayangnya, orang-orang yang mengaku sedang dirundung cinta justru sebaliknya, selalu memaksakan jalan cerita, khawatir, cemas serta berbagai perangai norak lainnya. Tidak usahlah kau gulana, wajah kusut. Jika berjodoh, Tuhan sendiri yang akan memberikan jalan baiknya ..." 
(hlm. 194)