Dalam salah satu kuliah Filsafat Sains, program doktor pascasarjana IPB, yang saya berikan bulan lalu, ditengahkan tentang karakteristik ilmu-ilmu sosial. Bagaimana tidak mudahnya ilmu-ilmu ini dikategorikan setara dengan ilmu-ilmu alam.Tidak kurang dari 400 tahun lamanya, menurut beberapa sumber, dunia keilmuan berada dalam dominasi dan otoritas paradigma positivisme ( Muslih,2005). Isu utama yang dibawa oleh paham ini adalah dalam refleksi filsafatnya yang sangat menitik beratkan pada aspek metodologi. Intinya adalah bagaimana memperoleh pengetahuan yang sahih tentang kenyataan. Isu ini menjadi penting karena pemahaman tentang positif itu sendiri dimaksudkan sebagai “apa yang berdasarkan fakta obyektif”.Dalam bahasa ilmu ekonomi biasa diungkap sebagai “what is”. Agus Comte sebagai perintis positivisme memertajam istilah positif dengan membedakan “ yang nyata” dan “yang khayal”; “yang pasti” dan “yang meragukan”; “yang tepat” dan “yang kabur”; “yang berguna” dan “yang sia-sia”. Comte yang dikenal sebagai pendiri sosiologi modern, telah merintis penerapan metode ilmiah dalam ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial.
Gagasan Comte tentang ilmu positif disikapi oleh kelompok Lingkaran Wina (Wina Circle) di abad ke-20 ini (Muslih,2005) yang berpandangan: (a) mereka menolak perbedaan antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial; (b) menganggap pernyataan yang tak dapat diverifikasi secara empiris seperti etika, estetika, agama, metafisika dianggap sebagai sesuatu yang “nonsense”; (c) berusaha menyatukan semua ilmu penetahuan di dalam satu bahasa ilmiah yang universal; dan (d) memandang tugas filsafat sebagai analisis atas kata-kata atau pernyataan-pernyataan.
Dengan menerapkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ilmu-ilmu sosial berarti ilmu-ilmu sosial memiliki prinsip-prinsip empiris-obyektif, deduktif-nomologis, dan instrumental-bebas nilai. Jadi menurut Anthony Giddens dalam Muslih (2005), ketiga asumsi tersebut membawa implikasi tertentu yakni:
(1) Prosedur metodologi ilmu-ilmu alam dapat langsung diterapkan pada ilmu-ilmu sosial.Gejala-gejala subyektivitas manusia, kepentingan maupun kehendak, tidak mengganggu obyak observasi yaitu tindakan sosial. Dengan cara ini obyek observasi ilmu-ilmu sosial disejajarkan dengan dunia alamiah.
(2) Hasil-hasil riset dapat dirumuskan dalam bentuk “hukum-hukum” seperti dalam ilmu-ilmu alam.
(3) Ilmu-ilmu sosial harus bersifat teknis yaitu menyediakan pengetahuan yang bersifat instrumental murni. Pengetahuan itu harus dapat dipakai untuk keperluan apa saja sehingga tidak bersifat etis dan juga tidak terkait pada dimensi politis. Ilmu-ilmu sosial seperti ilmu-ilmu alam bersifat bebas-nilai?
Dalam prakteknya penerapan metodologi ilmu-ilmu alam ke dalam ilmu-ilmu sosial selalu menimbulkan perdebatan, utamanya dari segi obyek telaahan atau observasinya. Obyek penelaahan ilmu-ilmu sosial relative kompleks. Sebagai obyek observasi, perilaku masyarakat dan individu manusia tidak dapat begitu saja diprediksi. Seperti diketahui ilmu-ilmu alam telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sedangkan ilmu ilmu-ilmu sosial agak tertinggal. Beberapa ahli berpendapat bahwa ilmu-ilmu sosial tak akan pernah menjadi ilmu dalam artian yang sepenuhnya. Sebab Ilmu-ilmu sosial mempelajari tingkah laku manusia yang sulit dibuat seragam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar