Umat
Islam di seluruh dunia bolehlah berbahagia karena malam ini sudah sampai di
hari lebaran setelah diuji selama sebulan penuh di bulan Ramadhan, artinya
sudah secara sah terlewati. Lelah payah yang dilakukan, insya allah diganti
dengan kesucian dan ampunan. Setidaknya, begitulah janji Allah kepada manusia
yang bertakwa.Seperti kita ketahui bahwa lebaran
itu merupakan bahasa kita, Tak ada dalam negara manapun yang memakai istilah
ini untuk memaknai hari raya Idul Fitri.
Edisi Lebaran 2018 untuk pertama
kalinya saya rasakan di lingkungan yang benar-benar baru yaitu tempat keluarga
suami (mohon bersabar bagi para pasukan jomblo dan single) di Kabupaten
Sumedang Kecamatan Pamulihan Desa Cimarias Dusun Neglasari (berusaha dihapalin
karena sekarang KTPnya disana hahaha). Sengaja dibuat menjadi sebuah kisah
dalam blog biar jadi kenangan di beberapa tahun berikutnya apabila membaca
kembali kisah ini akan senyam senyum sendiri.
Biasanya lebaran Idul Fitri di
cimahi tempat keluarga Ibu dimana umumnya budaya urban dan khasnya hidangan
lebaran yang melimpah ruah sampai di hari kedua, ketiga bahkan keempat masih
merasakan kehangatan dari setiap masakan lebaran (opor yang berubah jadi tumis
dan suwir nasi goreng/bihun goreng wkwkwkw). Makin kesini sistem kumpul di
keluarga cimahi untuk bawa makanan sistemnya Badami dengan membuat daftar
setiap keluarga mau bawa makanan apa agar bisa saling melengkapi dan menambahkan
di setiap hidangan.
Lebaran di tempat yang baru
tentulah menjadi pengalaman yang baru bagi yang merasakan begitu pula saya. Kalau
tahun sebelumnya datang ke sumedang di hari ketiga jadi ga dapet feel
lebarannya. Pada umumnya kalau di lembur benar-benar lebaran hanya hari pertama,
hari kedua kunjung-kunjung ke keluarga yang jauh/jalan-jalan ke kota lalu hari
berikutnya sudah kembali nyawah dan ngebon (pada umumnya pekerjaan di daerah
sang suami bekerja sebagai petani).
Foto diambil ketika perjalanan menuju shalat ied
Terhitung nekat sekali mudik di H-1
lebaran (walaupun pada saat itu masih harap-harap cemas karena belum tentu
lebaran besok). Tepat setelah asyar berangkat dari cimahi, melihat bawaan udah
kaya mau naik haji maka diputuskan suami berangkat pakai motor macam petugas
jn* mau antar paket saya pakai umum. Memaksakan diri membawa motor karena
masalah kebutuhan dan praktis dalam segi ekonomi, kalau pakai umum nanti repot
kalau mau kunjung-kunjung (mahal biaya naik ojeg haha). Jangan tanya lah jarak
antar rumah – rumah dan menuju jalan raya beneran kaya lagi KKN dan P2M zaman
mahasiswa yang gambarannya naik motor aja dari rumah mertua ke jalan utama 20 –
30 menit kanan dan kiri masih sawah dan hutan.
Lebaran di daerah suami masih
kental banget suasana kekeluargaannya terlihat dari begitu beres shalat ied
langsung salam-salaman macam halal bil halal kalau di daerah kota (konon
kabarnya ada selintingan omongan pada saat sasalaman ini ajang “aktualisasi
diri”). Tetap terpisah sasalamannya antara laki-laki dan perempuan. Dilanjutkan
sarapan pertama setelah sebulan tidak merasakan sebulan sarapan karena biasa
menghadapi makanan lebaran yang bermacam-macam begitu dapat hidangan simpel
cukup dua jenis itupun makanan kemarin yang belum habis, berasa beda banget jadi sistemnya cuma untuk
makan hari ini saja. Karena lebaran di rumah orang tua jadi pasti dapat
kunjungan dari kakak dan adik suami (FYI suami anak ke 6 dari 7 bersaudara).
Salaman rombongan laki-laki
Salaman rombongan perempuan
Setelah dirasa semua anak dan keluarga
sudah hamper semua kunjung dilanjutkan dengan ziarah ke makan keluarga, saya
diposisi itu mengikuti saja karena dibiasakan keluarga memang tidak untuk
ziarah dengan segala rentetan budayanya tapi tetap menghargai karena indahnya
keberagaman budaya lebaran di setiap keluarga dan daerah.
Tempat shalat Ied
Waktu 4 hari 3 malam rasanya kurang
cukup untuk menikmati suasana lebaran dan belum semua keluarga untuk
dikunjungi, sebagai orang Bandung (satu-satunya anak yang tidak menetap di sana
dan saya menantu bukan orang sumedang) secara tidak langsung diminta untuk
mengunjungi setiap keluarga dan untuk inti saja ada yang terlewat. Begitulah
lika liku masyarakat yang merasa dihargai apabila kita menyempatkan untuk
mampir ke rumahnya walaupun hanya sebentar.
Apabila
ada pepatah yang mengatakan pulang bawa satu tas pulang berlipat-lipat maka
benarlah pepatah tersebut. Tak usah dibayangkan cukup lihatlah fotonya saja
sudah jerihhhh dan itupun tidak semua terbawa ya mudah-mudahan jadi doa buat
nabung beli mobil.
Bawaan pulang
Dengan
hati terbuka, wajah yang berseri-seri serta senyum yang manis kita ulurkan
tangan kita untuk saling bermaaf-maafan. Kita buka lembaran baru yang masih
putih, dan kita tutup halaman yang lama yang mungkin banyak terdapat kotoran
dan noda seraya mengucapkan Minal Aidin Wal faizin Mohon Ma’af Lahir dan Batin.
Semoga
Allah senantiasa memberikan pertolongannya kepada kita semua. Oleh karena itu
marilah kita jadikan Idul Fitri tahun 2018 ini berbeda dengan Idul Fitri di
tahun-tahun sebelumnya, mari merajut kembali dan maksimalkan bersilaturahim
untuk meminta maaf, memberi maaf dan menjadi seorang pemaaf. Jangan biarkan
kedengkian dan kebencian merasuk kembali ke jiwa kita yang telah suci.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar