Minggu, 01 Juli 2018

EDISI LEBARAN 2018

Umat Islam di seluruh dunia bolehlah berbahagia karena malam ini sudah sampai di hari lebaran setelah diuji selama sebulan penuh di bulan Ramadhan, artinya sudah secara sah terlewati. Lelah payah yang dilakukan, insya allah diganti dengan kesucian dan ampunan. Setidaknya, begitulah janji Allah kepada manusia yang bertakwa.Seperti kita ketahui bahwa lebaran itu merupakan bahasa kita, Tak ada dalam negara manapun yang memakai istilah ini untuk memaknai hari raya Idul Fitri.

Lebaran tidak memiliki arti kesucian ataupun pengembalian roh pada titik awal. Lebaran bukan kata ganti yang artinya sama dengan Idul Fitri (hari raya makan). Namun lebaran, karena sudah terlalu lama dan mengakar, lebih mudah diucapkan daripada menyebut Idul Fitri.

Edisi Lebaran 2018 untuk pertama kalinya saya rasakan di lingkungan yang benar-benar baru yaitu tempat keluarga suami (mohon bersabar bagi para pasukan jomblo dan single) di Kabupaten Sumedang Kecamatan Pamulihan Desa Cimarias Dusun Neglasari (berusaha dihapalin karena sekarang KTPnya disana hahaha). Sengaja dibuat menjadi sebuah kisah dalam blog biar jadi kenangan di beberapa tahun berikutnya apabila membaca kembali kisah ini akan senyam senyum sendiri.

Biasanya lebaran Idul Fitri di cimahi tempat keluarga Ibu dimana umumnya budaya urban dan khasnya hidangan lebaran yang melimpah ruah sampai di hari kedua, ketiga bahkan keempat masih merasakan kehangatan dari setiap masakan lebaran (opor yang berubah jadi tumis dan suwir nasi goreng/bihun goreng wkwkwkw). Makin kesini sistem kumpul di keluarga cimahi untuk bawa makanan sistemnya Badami dengan membuat daftar setiap keluarga mau bawa makanan apa agar bisa saling melengkapi dan menambahkan di setiap hidangan.

Lebaran di tempat yang baru tentulah menjadi pengalaman yang baru bagi yang merasakan begitu pula saya. Kalau tahun sebelumnya datang ke sumedang di hari ketiga jadi ga dapet feel lebarannya. Pada umumnya kalau di lembur benar-benar lebaran hanya hari pertama, hari kedua kunjung-kunjung ke keluarga yang jauh/jalan-jalan ke kota lalu hari berikutnya sudah kembali nyawah dan ngebon (pada umumnya pekerjaan di daerah sang suami bekerja sebagai petani).
Foto diambil ketika perjalanan menuju shalat ied

Terhitung nekat sekali mudik di H-1 lebaran (walaupun pada saat itu masih harap-harap cemas karena belum tentu lebaran besok). Tepat setelah asyar berangkat dari cimahi, melihat bawaan udah kaya mau naik haji maka diputuskan suami berangkat pakai motor macam petugas jn* mau antar paket saya pakai umum. Memaksakan diri membawa motor karena masalah kebutuhan dan praktis dalam segi ekonomi, kalau pakai umum nanti repot kalau mau kunjung-kunjung (mahal biaya naik ojeg haha). Jangan tanya lah jarak antar rumah – rumah dan menuju jalan raya beneran kaya lagi KKN dan P2M zaman mahasiswa yang gambarannya naik motor aja dari rumah mertua ke jalan utama 20 – 30 menit kanan dan kiri masih sawah dan hutan.

Lebaran di daerah suami masih kental banget suasana kekeluargaannya terlihat dari begitu beres shalat ied langsung salam-salaman macam halal bil halal kalau di daerah kota (konon kabarnya ada selintingan omongan pada saat sasalaman ini ajang “aktualisasi diri”). Tetap terpisah sasalamannya antara laki-laki dan perempuan. Dilanjutkan sarapan pertama setelah sebulan tidak merasakan sebulan sarapan karena biasa menghadapi makanan lebaran yang bermacam-macam begitu dapat hidangan simpel cukup dua jenis itupun makanan kemarin yang belum habis,  berasa beda banget jadi sistemnya cuma untuk makan hari ini saja. Karena lebaran di rumah orang tua jadi pasti dapat kunjungan dari kakak dan adik suami (FYI suami anak ke 6 dari 7 bersaudara).

Salaman rombongan laki-laki

Salaman rombongan perempuan


Setelah dirasa semua anak dan keluarga sudah hamper semua kunjung dilanjutkan dengan ziarah ke makan keluarga, saya diposisi itu mengikuti saja karena dibiasakan keluarga memang tidak untuk ziarah dengan segala rentetan budayanya tapi tetap menghargai karena indahnya keberagaman budaya lebaran di setiap keluarga dan daerah.
Tempat shalat Ied

Waktu 4 hari 3 malam rasanya kurang cukup untuk menikmati suasana lebaran dan belum semua keluarga untuk dikunjungi, sebagai orang Bandung (satu-satunya anak yang tidak menetap di sana dan saya menantu bukan orang sumedang) secara tidak langsung diminta untuk mengunjungi setiap keluarga dan untuk inti saja ada yang terlewat. Begitulah lika liku masyarakat yang merasa dihargai apabila kita menyempatkan untuk mampir ke rumahnya walaupun hanya sebentar.

Apabila ada pepatah yang mengatakan pulang bawa satu tas pulang berlipat-lipat maka benarlah pepatah tersebut. Tak usah dibayangkan cukup lihatlah fotonya saja sudah jerihhhh dan itupun tidak semua terbawa ya mudah-mudahan jadi doa buat nabung beli mobil.
Bawaan pulang 

Dengan hati terbuka, wajah yang berseri-seri serta senyum yang manis kita ulurkan tangan kita untuk saling bermaaf-maafan. Kita buka lembaran baru yang masih putih, dan kita tutup halaman yang lama yang mungkin banyak terdapat kotoran dan noda seraya mengucapkan Minal Aidin Wal faizin Mohon Ma’af Lahir dan Batin.

Semoga Allah senantiasa memberikan pertolongannya kepada kita semua. Oleh karena itu marilah kita jadikan Idul Fitri tahun 2018 ini berbeda dengan Idul Fitri di tahun-tahun sebelumnya, mari merajut kembali dan maksimalkan bersilaturahim untuk meminta maaf, memberi maaf dan menjadi seorang pemaaf. Jangan biarkan kedengkian dan kebencian merasuk kembali ke jiwa kita yang telah suci.