Minggu, 24 April 2011

Patron Klien dalam Kepemimpinan Otokratis


            Sebelum mencapai kemerdekaan, wilayah Indonesia terbagi menjadi beberapa bagian yang masing – masing merupakan satu pemerintah yang dipimpin oleh sekelompok orang dibawah kekuasaan kerajaan. Kekuasaan dipegang oleh sekelompok orang yang memiliki status keturunan yang diakui oleh masyarakat sebagai kelas elite. Susunan masyarakat biasanya terbagi menjadi beberapa tingkatan dengan pembagian yang sangat tegas atas dasar asal usul keturunan mereka. Hal ini bisa dilihat misalnya pada masyarakat Bugis Makasar dan juga masyarakat Jawa. Pada masyarakat Bugis Makasar dikenal adanya kelompok karaeng, daeng, to samara dan atta. Pada masyarakat jawa pada umumnya dan jawa tengah khususnya terdapat dua kelas social yaitu: wong cilik dan priyayi. Pada masyarakat Surakarta mengklasifikasikan menjadi tiga macam kelas social, yaitu: Santono Dalem, Dalem dan Kuwolo Dalem.
            Dr. Shelly Erington mengemukakan bahwa hiarkhi atau susunan masyarakat yang bertingkat – tingkat itu dianggap sacral atau suci bukan hanya duniawi. Kecendrungan masyarakat untuk menganggap bahwa hal yang magis dan kramat adalah prestasi yang tinggi, maka bagi mereka yang memiliki kelebihan tersebut itulah yang dianggap berkuasa dan berhak atasnya. Adapun hubungan antara kelompok bangsawan dengan kelompok bukan bangsawan, selain berdasar atas adanya ikatan kekuasaan, banyak berdasar karena ikatan pribadi, baik antara raja dengan bawahannya, bawahannya dengan yang lebih rendah sampai kepada rakyat yang paling bawah. Kehidupan masyarakat bawah hampir hampir tidak lebih daripada pengabdian pada atasan, apa yang dikehendaki oleh orang atasan itulah yang harus dilakukan. Keuntungan yang diperoleh dari atasan bisa bersifat politis, ekonomis maupun social sedangkan keuntungan yang diperoleh dari pihak bawahan yaitu berupa kebutuhan emosional.


Rusman Dullah mengemukakan bahwa terdapat beberapa kemungkinan yang mendasari adanya kepengikutan, yaitu:
1.      Kepengikutan karena naluri untuk menjadi pengikut
2.      Kepengikutan karena tradisi dan adat
3.      Kepengikutan karena agama dan budi nurani
4.      Kepengikutan karena rasio
5.      Kepengikutan karena peraturan hokum

Hubungan patron pada hakekatnya adalah selalu disadari oleh rasa sukarela demi keuntungan kedua belah pihak. Dalam hubungan patron klien, mereka yang berperan sebagai patron adalah kelompok yang menduduki status yang lebih tinggi sedangkan kliennya adalah sebaliknya. Kelompok pengikut atau klien biasanya digunakan sebagai alat patron untuk bersaing dengan sesame bangsawan atau patron lainnya dalam rangka merebut kekuasaan. Dalam system politik tradisional masyarakat suku Makasar, kekuasaan politik tidak terikat secara mutlak pada keturunan, seandainya teradapat lowongan jabatan tidak secara otomatis keturunan terdekat bisa menggantinya, melainkan harus diadakan pemilihan diantara mereka yang berhak mendudukinya. Sehingga dalam hal ini yang menang adalah yang memiliki paling banyak pendukung di masyarakat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar